LOVE, 30 DAYS
BAB 1
“DUA DUNIA”
Musim panas di London, United Kingdom.
Jam besar berbentuk oval yang tertempel pada dinding kamar dengan warna cat abu-abu itu menunjukan pukul 07:30am, namun selimut tebal masih saja setia menutupi seluruh tubuh Albert Suryadiningrat, seorang pemuda tampan berusia 23 tahun. la memiliki mata yang indah, rambut pirang dan kulit berwarna putih merona. Tinggi badannya sekitar 185cm dengan berat 75kg.
Albert Suryadiningrat adalah putra tunggal pasangan Rahadian Suryadiningrat dan Adelle
Seliana. Ayahnya berasal dari Jakarta sedangkan ibunya datang dari New York, Amerika Serikat. Oleh sebab itu, teman-teman Albert (sapaan akrab pemuda rupawan ini) biasa memanggilnya "cowok indo". Sekarang ia tinggal di sebuah rumah megah yang terletak di kota London bersama sang ibu dan seorang ayah tiri bernama Patrick Wiseman.
Empat tahun yang lalu Tuan Rahadian meninggal dunia akibat kecelakaan maut. Ia mewariskan dua buah perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan kaleng dan kain batik. Tidak heran jika Tuan Rahadian disebut-sebut sebagai orang terkaya di Indonesia dan menduduki peringkat kedelapan di dunia.
Sejak ayahnya meninggal, Albert mengambil alih perusahaan. Padahal saat itu usianya baru menginjak 19 tahun, bilangan usia yang masih sangat muda untuk menjadi seorang pemimpin di dua perusahaan sekaligus.
Nyonya Ardelle adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Diusianya yang menginjak kepala lima itu, ia lebih senang melayani Patrick dari pada putranya sendiri. Hal itu membuat Albert merasa iri.
Empat tahun yang lalu Tuan Rahadian meninggal dunia akibat kecelakaan maut. Ia mewariskan dua buah perusahaan besar yang bergerak di bidang makanan kaleng dan kain batik. Tidak heran jika Tuan Rahadian disebut-sebut sebagai orang terkaya di Indonesia dan menduduki peringkat kedelapan di dunia.
Sejak ayahnya meninggal, Albert mengambil alih perusahaan. Padahal saat itu usianya baru menginjak 19 tahun, bilangan usia yang masih sangat muda untuk menjadi seorang pemimpin di dua perusahaan sekaligus.
Nyonya Ardelle adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Diusianya yang menginjak kepala lima itu, ia lebih senang melayani Patrick dari pada putranya sendiri. Hal itu membuat Albert merasa iri.
Apalagi sudah sejak lama ia mencurigai ayah tiri yang dulu bekerja sebagai asisten Tuan Rahadian sewaktu masih hidup itu adalah penyebab kecelakaan yang menimpa ayahnya. Dari awal Albert tidak setuju jika Patrick menggantikan posisi sang ayah, namun demi kebahagiaan Nyonya Adelle akhirnya dengan berat hati dia mengabulkan keinginan ibunya itu.
Perasaan bosan menjadi Albert yang sekarang kerap kali hinggap di benaknya. Bahkan ia juga merasa tersiksa dengan keadaan yang harus dia jalani saat ini. Hal tersebut terjadi karena ia tidak memiliki waktu luang yang cukup banyak. Jangankan pergi berlibur, hanya sekedar waktu untuk tidur nyenyak saja sudah sulit dia peroleh. Namun Albert tidak pernah mengeluh di hadapan Adelle, dia tidak mau mengecewakan ibunya. Albert juga tidak mau kedua perusahaan yang susah payah dibangun sang ayah tercinta runtuh akibat keteledoran yang ia lakukan.
Perasaan bosan menjadi Albert yang sekarang kerap kali hinggap di benaknya. Bahkan ia juga merasa tersiksa dengan keadaan yang harus dia jalani saat ini. Hal tersebut terjadi karena ia tidak memiliki waktu luang yang cukup banyak. Jangankan pergi berlibur, hanya sekedar waktu untuk tidur nyenyak saja sudah sulit dia peroleh. Namun Albert tidak pernah mengeluh di hadapan Adelle, dia tidak mau mengecewakan ibunya. Albert juga tidak mau kedua perusahaan yang susah payah dibangun sang ayah tercinta runtuh akibat keteledoran yang ia lakukan.
"Tok... tok.... tok..... !"
" Morning swety, ayo cepat bangun Nak! Sudah siang," suara daun pintu yang diketuk berulang-ulang diiringi sapaan halus seorang wanita terdengar cukup nyaring di gendang telinga pemuda tampan ini.
"Oke, Mom. Sa...ya sudah bangun kok," sahut Albert, suaranya terdengar parau. Maklum, dia baru bangun tidur.
Perlahan Albert menyingkapkan selimut ke samping kanan, dia hanya mengenakan celana bokser bermotif batik. Dadanya yang bidang ditumbuhi bulu halus terbuka begitu saja. Meskipun matanya masih terasa berat untuk dibuka, dia tetap berusaha mengayunkan langkah kaki kearah kamar kecil yang terletak di sudut kiri ruang tidur. Keadaan kamar saat itu terlihat sangat berantakan, botol bekas wiskey tergeletak di atas meja, aroma anggur yang khas pun menyeruak ke seluruh penjuru ruangan.
" Morning swety, ayo cepat bangun Nak! Sudah siang," suara daun pintu yang diketuk berulang-ulang diiringi sapaan halus seorang wanita terdengar cukup nyaring di gendang telinga pemuda tampan ini.
"Oke, Mom. Sa...ya sudah bangun kok," sahut Albert, suaranya terdengar parau. Maklum, dia baru bangun tidur.
Perlahan Albert menyingkapkan selimut ke samping kanan, dia hanya mengenakan celana bokser bermotif batik. Dadanya yang bidang ditumbuhi bulu halus terbuka begitu saja. Meskipun matanya masih terasa berat untuk dibuka, dia tetap berusaha mengayunkan langkah kaki kearah kamar kecil yang terletak di sudut kiri ruang tidur. Keadaan kamar saat itu terlihat sangat berantakan, botol bekas wiskey tergeletak di atas meja, aroma anggur yang khas pun menyeruak ke seluruh penjuru ruangan.
Kemudian dia membasahi seluruh tubuhnya dengan air hangat yang memancar dari setiap lubang kecil shower, setelah selesai mandi, Albert kembali memasuki ruang tidur seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk berwarna putih.
"Ah, segar sekal...i" bisiknya pelan.
Lalu dia mengenakan baju t-shirt dan celana bermotif loreng seperti seragam tentara, sesekali siulan pelan keluar dari mulut seksinya itu.
"Swety, bangun Nak!" ucap Nyonya Adelle setengah berteriak, ia tidak tahu jika putra semata wayangnya itu sudah bangun.
"I've waken up Momy," jawab Albert seraya menyisir rambut.
Setelah merasa sudah rapih, ia pun membuka pintu kamar yang sejak semalam terkunci rapat.
"Morning, Mom, morning Patrick!" sapa Albert ramah saat bertemu dengan orang tuanya di meja makan.
"Morning!" jawab mereka bersamaan.
Ritual sarapan pagi pun dimulai, mungkin keluarga besar Suyadiningrat adalah satu-satunya keluarga di London yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok mereka. Sejak kecil Albert sudah terbiasa menyantap masakan khas Indonesia.
"Ah, segar sekal...i" bisiknya pelan.
Lalu dia mengenakan baju t-shirt dan celana bermotif loreng seperti seragam tentara, sesekali siulan pelan keluar dari mulut seksinya itu.
"Swety, bangun Nak!" ucap Nyonya Adelle setengah berteriak, ia tidak tahu jika putra semata wayangnya itu sudah bangun.
"I've waken up Momy," jawab Albert seraya menyisir rambut.
Setelah merasa sudah rapih, ia pun membuka pintu kamar yang sejak semalam terkunci rapat.
"Morning, Mom, morning Patrick!" sapa Albert ramah saat bertemu dengan orang tuanya di meja makan.
"Morning!" jawab mereka bersamaan.
Ritual sarapan pagi pun dimulai, mungkin keluarga besar Suyadiningrat adalah satu-satunya keluarga di London yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok mereka. Sejak kecil Albert sudah terbiasa menyantap masakan khas Indonesia.
"Kamu tidak merasa lelah kan menjadi seorang pemimpin di perusahaan Rahadian, Nak?" tanya Nyonya Adelle di sela-sela sarapan pagi mereka dengan penuh perasaan cemas, Patrick diam saja karena dia tidak mengerti bahasa Indonesia.
"Sure, I ne...ver felt it Mom!" jawab Albert mantap.
"Momy harap kamu berkata jujur, jika memang kamu merasa lelah,lebih baik Patrick yang mengambil alih salah satu perusahaan. Bagaimana?"
"What? Saya tidak mau suami Momy yang baru ini mengatur perusahaan Dady!" ungkap Albert dengan nada tinggi.
"Swety, I hope you can accept Patrick as your father, we have been staying here for four years," balas Nyonya Adelle, kali ini Patrick menghentikan makannya yang lahap itu.
"Terserah Momy saja!" ucap Albert kecewa seraya bangkit dan pergi meninggalkan orang tuanya.
"What's going on, Baby?" tanya Patrick khawatir.
"Nothing," jawab Nyonya Adelle singkat.
"Sure, I ne...ver felt it Mom!" jawab Albert mantap.
"Momy harap kamu berkata jujur, jika memang kamu merasa lelah,lebih baik Patrick yang mengambil alih salah satu perusahaan. Bagaimana?"
"What? Saya tidak mau suami Momy yang baru ini mengatur perusahaan Dady!" ungkap Albert dengan nada tinggi.
"Swety, I hope you can accept Patrick as your father, we have been staying here for four years," balas Nyonya Adelle, kali ini Patrick menghentikan makannya yang lahap itu.
"Terserah Momy saja!" ucap Albert kecewa seraya bangkit dan pergi meninggalkan orang tuanya.
"What's going on, Baby?" tanya Patrick khawatir.
"Nothing," jawab Nyonya Adelle singkat.
Suasana meja makan yang pada awalnya terasa hangat dan penuh dengan kedamaiaan berubah menjadi tak menentu. Albert meninggalkan makanan kesukaannya padahal dia baru saja melahap beberapa suap makanan tersebut. Nyonya Adelle merasa sangat be...rsalah, ia pun ikut meninggalkan meja makan dan menyusul Albert.
"Where are you going?" tanya Patrick heran.
"Sorry, Babe. I have to go now," jawab Nyonya Adelle dengan langkah tergesa.
"Where are you going?" tanya Patrick heran.
"Sorry, Babe. I have to go now," jawab Nyonya Adelle dengan langkah tergesa.
"Dia pasti sedang termenung di dekat swimming pool!" ujarnya pelan, ternyata dugaan Nyonya Adelle tidak meleset, sejak kecil jika Albert sedang marah atau pun kesal terhadap ibunya dia pasti akan duduk termenung dengan kaki menjuntai masuk ke dalam air kolam renang.
Perlahan Nyonya Adelia mendekati putranya. Suasana di tempat itu sangat sepi, mungkin Albert tidak menyadari kedatangan sang Ibu.
"Hi," sapa ibu yang terlihat masih muda itu ramah.
Perlahan Nyonya Adelia mendekati putranya. Suasana di tempat itu sangat sepi, mungkin Albert tidak menyadari kedatangan sang Ibu.
"Hi," sapa ibu yang terlihat masih muda itu ramah.
"Hi, Mom!" jawab Albert singkat, matanya menatap tajam ke arah depan.
"Hmmm, Momy minta maaf."
"Minta maaf untuk soal apa?" tanya Albert datar.
"Ya, mungkin tadi Momy menyakiti hati kamu. Sebenarnya Momy hanya ingin membuat kamu bahagia," ...terang Nyonya Adelle seraya mengusap pundak putranya.
"Momy tidak perlu meminta maaf seperti itu, justru saya yang seharusnya melakukan hal tersebut, jujur saya belum bisa menerima Patrick sebagai pengganti Daddy, I am sorry Mom," ungkap Albert hati-hati, dia tidak mau menyakiti perasaan bunda tercinta.
"Hmmm, I've known for a fact about it. Tidak akan ada seorang pun yang mampu menggantikan sosok ayahmu, Swety. Tetapi kita juga harus bisa menghargai orang yang berusaha membahagiakan kita."
Albert tidak merespon penjelasan ibunya, suasana kembali sunyi. Hanya suara gemericik air mancur kecil yang terletak di sudut kanan kolam renanglah yang dominan terdengar.
"Hmmm, Momy minta maaf."
"Minta maaf untuk soal apa?" tanya Albert datar.
"Ya, mungkin tadi Momy menyakiti hati kamu. Sebenarnya Momy hanya ingin membuat kamu bahagia," ...terang Nyonya Adelle seraya mengusap pundak putranya.
"Momy tidak perlu meminta maaf seperti itu, justru saya yang seharusnya melakukan hal tersebut, jujur saya belum bisa menerima Patrick sebagai pengganti Daddy, I am sorry Mom," ungkap Albert hati-hati, dia tidak mau menyakiti perasaan bunda tercinta.
"Hmmm, I've known for a fact about it. Tidak akan ada seorang pun yang mampu menggantikan sosok ayahmu, Swety. Tetapi kita juga harus bisa menghargai orang yang berusaha membahagiakan kita."
Albert tidak merespon penjelasan ibunya, suasana kembali sunyi. Hanya suara gemericik air mancur kecil yang terletak di sudut kanan kolam renanglah yang dominan terdengar.
"Tadi Momy dapat kabar dari Uncle Prasetya, dia bilang minggu depan akan menikah dengan Bertha, teman kecilmu dulu," ucap Nyonya Adelle membuka lagi percakapan yang sempat terhenti beberapa saat lamanya.
"What? Are you kidding at me?" tany...a Albert setengah tidak percaya, karena menurutnya Uncle Prasetya terlalu tua untuk Bertha. Usia mereka terpaut sekitar 20 tahun.
"No, I'm serious now," sergah Nyonya Adelle.
"Are you sure?" untuk kedua kalinya Albert menunjukan ketidak percayaan yang ia tengah rasakan.
"Yup, I'm sure about it!" jawab Nyonya Adelle mantap. Albert langsung mengerutkan kening dan menggaruk kepala setelah mendengar jawaban ibunya itu.
"What's up, Swety?" tanya Nyonya Adelle heran. Albert tidak menghiraukan pertanyaan tersebut karena dia asyik termenung.
"Hallo?! Are you okay?!" tegur Nyonya Adelle seraya mengibas-ngibaskan tangan kanan tepat di depan wajah putra tunggalnya.
"What? Are you kidding at me?" tany...a Albert setengah tidak percaya, karena menurutnya Uncle Prasetya terlalu tua untuk Bertha. Usia mereka terpaut sekitar 20 tahun.
"No, I'm serious now," sergah Nyonya Adelle.
"Are you sure?" untuk kedua kalinya Albert menunjukan ketidak percayaan yang ia tengah rasakan.
"Yup, I'm sure about it!" jawab Nyonya Adelle mantap. Albert langsung mengerutkan kening dan menggaruk kepala setelah mendengar jawaban ibunya itu.
"What's up, Swety?" tanya Nyonya Adelle heran. Albert tidak menghiraukan pertanyaan tersebut karena dia asyik termenung.
"Hallo?! Are you okay?!" tegur Nyonya Adelle seraya mengibas-ngibaskan tangan kanan tepat di depan wajah putra tunggalnya.
"Oops, sorry Mom. I'm okay," ujar pemuda berdagu belah ini sambil tersipu malu.Nyonya Adelle mengangguk-anggukan kepala.
"Hmmm, so what should I do?" tanya Albert meminta pendapat sang bunda.
"Besok lusa kita terbang ke Jakarta. Kamu mau i...kut kan?"
"Sure, I wil. But..." Albert tidak melanjutkan ucapannya, dia terlihat sedikit ragu.
"Tapi kenapa?" tanya Nyonya Adelle penasaran.
"Bagaimana dengan perusahaan kita? Siapa yang akan mengurusi semuanya jika saya ikut ke Indonesia?"
"Kamu tidak perlu khawatir soal itu, Patrick tidak akan ikut ke Jakarta," jawab Nyonya Adelle.
"Why?" tanya Albert heran.
"Uncle Prasetya is your Dady's brother. So, maybe it'll be better if he stay and manage our factories for several days," terang Nyonya Adelle panjang lebar.
"Yeah, I'll do it for you and your Mom. I hope you believe in me," tiba-tiba saja Patrick datang tanpa disadari Albert dan ibunya.
"Hmmm, so what should I do?" tanya Albert meminta pendapat sang bunda.
"Besok lusa kita terbang ke Jakarta. Kamu mau i...kut kan?"
"Sure, I wil. But..." Albert tidak melanjutkan ucapannya, dia terlihat sedikit ragu.
"Tapi kenapa?" tanya Nyonya Adelle penasaran.
"Bagaimana dengan perusahaan kita? Siapa yang akan mengurusi semuanya jika saya ikut ke Indonesia?"
"Kamu tidak perlu khawatir soal itu, Patrick tidak akan ikut ke Jakarta," jawab Nyonya Adelle.
"Why?" tanya Albert heran.
"Uncle Prasetya is your Dady's brother. So, maybe it'll be better if he stay and manage our factories for several days," terang Nyonya Adelle panjang lebar.
"Yeah, I'll do it for you and your Mom. I hope you believe in me," tiba-tiba saja Patrick datang tanpa disadari Albert dan ibunya.
Albert langsung berdiri dan memburu ayah tirinya, lalu dia memeluk tubuh Patrick. Jauh di lubuk hati pengusaha muda ini perasaan bersalah jelas terasa karena ia sering berprasangka buruk terhadapnya. Di lain pihak Padrick juga merasa senang..., ini adalah pelukan pertama yang ia peroleh dari Albert semenjak menikahi Nyonya Adelle tiga tahun yang lalu. Sang ibu pun ikut bahagia menyaksikan pemandangan langka itu.
"Thank you so much, Padrick. I believe in you," ucap Albert pelan.
"Never mind. It's an honor for me," balas Patrick seraya mengecup pipi Albert sebagai ungkapan kebahagiaan yang tengah ia rasakan di hari Minggu pagi ini. Perlahan Nyonya Adelle mendekati mereka berdua, tanpa ada perasaan ragu sedikit pun dia memeluk tubuh Patrick dan Albert.
"Thank you so much, Padrick. I believe in you," ucap Albert pelan.
"Never mind. It's an honor for me," balas Patrick seraya mengecup pipi Albert sebagai ungkapan kebahagiaan yang tengah ia rasakan di hari Minggu pagi ini. Perlahan Nyonya Adelle mendekati mereka berdua, tanpa ada perasaan ragu sedikit pun dia memeluk tubuh Patrick dan Albert.
***
Pantai Lovina, Bali, Indonesia.
Jam 06:00 WITA
"Kak Wayan harus segera pulang, semalam Ibu terus-menerus memanggil nama Kakak. Kasihan Ibu, beliau sangat merindukan Kakak. Sudah dua bulan lebih Kak Wayan minggat dari rumah dan tidak memberi kabar kepada Bapak dan Ibu, Aisyah paham kenapa Kakak melakukan semua ini. Tapi apakah Kakak tega menjadikan Ibu sebagai korban?" Aisyah Ni Made berusaha membujuk kakaknya, pemuda berusia 21 tahun yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Air mata terus berjatuhan membasahi pipi gadis berkerudung ini, usianya baru 17 tahun. Oleh sebab itu dia masih sekolah di sebuah SMA Buleleng, kebetulan sekarang kelas tiga.
Saat itu Wayan hendak berangkat mengantar para turis asing yang ingin menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba yang bisa ditemukan di dekat pantai Lovina. Sebuah kawasan wisata laut yang terletak di bagian utara pulau Bali, sekitar 10km arah barat Singaraja, desa Kalibukbuk, kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia.
"Kak Wayan harus segera pulang, semalam Ibu terus-menerus memanggil nama Kakak. Kasihan Ibu, beliau sangat merindukan Kakak. Sudah dua bulan lebih Kak Wayan minggat dari rumah dan tidak memberi kabar kepada Bapak dan Ibu, Aisyah paham kenapa Kakak melakukan semua ini. Tapi apakah Kakak tega menjadikan Ibu sebagai korban?" Aisyah Ni Made berusaha membujuk kakaknya, pemuda berusia 21 tahun yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Air mata terus berjatuhan membasahi pipi gadis berkerudung ini, usianya baru 17 tahun. Oleh sebab itu dia masih sekolah di sebuah SMA Buleleng, kebetulan sekarang kelas tiga.
Saat itu Wayan hendak berangkat mengantar para turis asing yang ingin menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba yang bisa ditemukan di dekat pantai Lovina. Sebuah kawasan wisata laut yang terletak di bagian utara pulau Bali, sekitar 10km arah barat Singaraja, desa Kalibukbuk, kabupaten Buleleng, Bali, Indonesia.
"Maafkan Beli, Aisyah. Beli harus pergi sekarang," jawab Wayan singkat. Lalu dia naik keatas perahu nelayan yang sejak tadi menunggunya. Semilir angin pagi diiringi deburan ombak yang menghantam karang seolah-olah menjadi saksi bisu kesedi...han Aisyah.
"Beli Wayan," ucapnya lirih seraya melambaikan tangan, Wayan sempat menatap adik perempuan yang sangat dia sayangi itu dengan tatapan penuh arti. Perlahan namun pasti, Wayan beserta perahu nelayan tersebut menghilang dari pandangan Aisyah. Kemudian dia pergi meninggalkan satu-satunya bibir pantai berpasir hitam di pulau Bali.
"Beli minta maaf,Aisyah. Beli juga tahu keputusan minggat ini memang tidak benar. Tapi Beli Wayan tidak mau lagi terjadi pertengkaran besar dengan Bapak. Biang, saya juga minta maaf karena tidak bisa menjenguk Biang yang sedang sakit, saya memang bukan anak yang berguna," batin Wayan berbisik pelan.
Jam digital yang melingkar di lengan kiri Wayan menunjukan pukul 07:00 WITA. Perahu yang dia tumpangi beserta tiga orang turis asing itu terus melaju kencang membelah lautan, pantai Lovina terlihat berbentuk siluet jika dilihat dari jarak yang jauh. Beberapa ekor lumba-lumba melompat ke permukaan air, pemandangan yang sangat mengagumkan. Sekelompok burung laut asyik berterbangan memangsa ikan-ikan kecil yang sesekali menampakan diri.
"Beli Wayan," ucapnya lirih seraya melambaikan tangan, Wayan sempat menatap adik perempuan yang sangat dia sayangi itu dengan tatapan penuh arti. Perlahan namun pasti, Wayan beserta perahu nelayan tersebut menghilang dari pandangan Aisyah. Kemudian dia pergi meninggalkan satu-satunya bibir pantai berpasir hitam di pulau Bali.
"Beli minta maaf,Aisyah. Beli juga tahu keputusan minggat ini memang tidak benar. Tapi Beli Wayan tidak mau lagi terjadi pertengkaran besar dengan Bapak. Biang, saya juga minta maaf karena tidak bisa menjenguk Biang yang sedang sakit, saya memang bukan anak yang berguna," batin Wayan berbisik pelan.
Jam digital yang melingkar di lengan kiri Wayan menunjukan pukul 07:00 WITA. Perahu yang dia tumpangi beserta tiga orang turis asing itu terus melaju kencang membelah lautan, pantai Lovina terlihat berbentuk siluet jika dilihat dari jarak yang jauh. Beberapa ekor lumba-lumba melompat ke permukaan air, pemandangan yang sangat mengagumkan. Sekelompok burung laut asyik berterbangan memangsa ikan-ikan kecil yang sesekali menampakan diri.
Wayan adalah putra sulung dari dua bersaudara pasangan Bapak Made dan Ibu Ida Ayu, usianya saat ini tepat menginjak 21 tahun. Dia hanya merasakan sampai bangku SMA saja, orang tua Wayan tidak memiliki uang lebih untuk memasukan putra mereka... ke perguruan tinggi. Maklum, profesi Bapak Made sebagai nelayan tradisional berpenghasilan rendah tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangga apa lagi akhir-akhir ini harga sembako semakin melambung tinggi, terlebih saat itu Aisyah Ni Made, adik Wayan, masih duduk di bangku SMP. Lagi pula Wayan sama sekali tidak berminat melanjutkan pendidikannya, padahal ia termasuk salah satu siswa yang cukup pandai di sekolah. Selain pintar, Wayan juga memiliki wajah yang enak dipandang. Ia memiliki bola mata berukuran sedang dengan pupil berwarna coklat dihiasi bulu alis yang tebal di bawah dahinya. Ditambah cambang tipis, rambut ikal, tinggi badan sekitar 180cm dengan berat 70kg dan kulit sawo matang semakin menambah ketampanannya. Wayan juga memiliki tubuh atletis. Tidak heran banyak sekali perempuan yang terpikat dan berlomba-lomba mendapatkan cinta Wayan. Namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mampu meluluhkan hati pemuda manis ini.
"Wow, what an amazing picture this is!" sahut salah seorang turis meluapkan kekaguman terhadap gambar yang baru saja dia ambil.
Kedua temannya yang lain mengiyakan pendapat orang tersebut. Wayan hanya tersenyum melihat tingkah mereka.
"Is... this your first time here, Sir?" tanya Wayan kepada Mr. Smith.
"Yup, this is my first time here. But I have ever gone to Bali before," jawab turis berkulit putih itu seraya memotret lumba-lumba yang asyik melompat-lompat ke atas permukaan air laut. Perahu yang tengah mereka tumpangi juga ikut bergoyang mengikuti irama tarian gelombang air.
Tepat pukul 08:15 WITA sekelompok lumba-lumba tersebut perlahan menghilang dan akan kembali melakukan kegiatan serupa esok hari di waktu yang sama.
"Let's go now!" ajak Wayan seraya menghidupkan mesin motornya.
" Ow, poor us!" ucap ketiga bule itu secara bersamaan. Kesedihan tampak jelas terpatri di raut wajah mereka.
"You'll be able to see them tomorrow morning, so don't be sad!" balas Wayan seraya tersenyum ramah.
"Really?" tanya Morgan ragu.
"Yup, sure!" jawab Wayan mantap, Morgan, Smith dan Mike menganggukan kepala.
Kedua temannya yang lain mengiyakan pendapat orang tersebut. Wayan hanya tersenyum melihat tingkah mereka.
"Is... this your first time here, Sir?" tanya Wayan kepada Mr. Smith.
"Yup, this is my first time here. But I have ever gone to Bali before," jawab turis berkulit putih itu seraya memotret lumba-lumba yang asyik melompat-lompat ke atas permukaan air laut. Perahu yang tengah mereka tumpangi juga ikut bergoyang mengikuti irama tarian gelombang air.
Tepat pukul 08:15 WITA sekelompok lumba-lumba tersebut perlahan menghilang dan akan kembali melakukan kegiatan serupa esok hari di waktu yang sama.
"Let's go now!" ajak Wayan seraya menghidupkan mesin motornya.
" Ow, poor us!" ucap ketiga bule itu secara bersamaan. Kesedihan tampak jelas terpatri di raut wajah mereka.
"You'll be able to see them tomorrow morning, so don't be sad!" balas Wayan seraya tersenyum ramah.
"Really?" tanya Morgan ragu.
"Yup, sure!" jawab Wayan mantap, Morgan, Smith dan Mike menganggukan kepala.
Akhirnya mereka kembali ke pantai Lovina, matahari sudah tidak ragu lagi menampakan sosoknya yang terang benderang. Suasana pagi ini sangat cerah sekali, semilir angin laut membelai mesra alam Singaraja yang indah. Perlahan Wayan menambatk...an perahu itu di bibir pantai.
Tiba-tiba saja seseorang menutup matanya dari belakang.
"Woi, lepasin! Gua lagi kerja nih, elu gak punya mata ya?" ujar Wayan kesal. Namun orang tersebut tidak menghiraukan ucapannya.
"Ngomong dong! Lu tuli?!" lagi-lagi Wayan tidak memperoleh jawaban dari orang yang sudah membuatnya jengkel.
"Woi!!!!" teriak Wayan kencang, kali ini dia sudah habis kesabaran, dan hampir saja menyikut perut orang asing itu. Beruntung orang tersebut mampu mengelak sehingga tangannya terlepas.
Tiba-tiba saja seseorang menutup matanya dari belakang.
"Woi, lepasin! Gua lagi kerja nih, elu gak punya mata ya?" ujar Wayan kesal. Namun orang tersebut tidak menghiraukan ucapannya.
"Ngomong dong! Lu tuli?!" lagi-lagi Wayan tidak memperoleh jawaban dari orang yang sudah membuatnya jengkel.
"Woi!!!!" teriak Wayan kencang, kali ini dia sudah habis kesabaran, dan hampir saja menyikut perut orang asing itu. Beruntung orang tersebut mampu mengelak sehingga tangannya terlepas.
Wayan langsung meraih kerah baju orang tersebut dengan maksud memberi pelajaran, namun alangkah kagetnya ia saat menyadari orang yang berada dihadapannya itu adalah Ketut, teman sepermainannya dulu.
"Sabar, Dude!" ucap Ketut seraya tersenyu...m.
"Ke... Ketut?!" tanya Wayan kaget.
"Kamu Ketut kan?" tambahnya.
"Yup, I'm Ketut. Your best friend."
"Astaga, sorry tadi gua gak tau. Habisnya elu sih pake ngisengin gua segala!" ungkap Wayan sedikit kesal, dia langsung memeluk tubuh teman dekatnya itu yang sudah lama tidak bertemu.
"Ha ha ha, seharusnya gua yang minta maaf sama elu, Dude!" balas Ketut diiringi gelagak tawa kecil, sementara tangannya menepuk punggung Wayan.
"Wah, gua pangling sama lu! Sekarang elu keliatan lebih gagah, bersih, cakep lagi, ha ha ha!" puji Wayan setelah sebelumnya dia melepaskan dekapan hangat sebagai pengobat rasa rindunya selama ini.
"Sabar, Dude!" ucap Ketut seraya tersenyu...m.
"Ke... Ketut?!" tanya Wayan kaget.
"Kamu Ketut kan?" tambahnya.
"Yup, I'm Ketut. Your best friend."
"Astaga, sorry tadi gua gak tau. Habisnya elu sih pake ngisengin gua segala!" ungkap Wayan sedikit kesal, dia langsung memeluk tubuh teman dekatnya itu yang sudah lama tidak bertemu.
"Ha ha ha, seharusnya gua yang minta maaf sama elu, Dude!" balas Ketut diiringi gelagak tawa kecil, sementara tangannya menepuk punggung Wayan.
"Wah, gua pangling sama lu! Sekarang elu keliatan lebih gagah, bersih, cakep lagi, ha ha ha!" puji Wayan setelah sebelumnya dia melepaskan dekapan hangat sebagai pengobat rasa rindunya selama ini.
"Ah, elu bisa aja Dude! Padahal dari dulu gua emang ganteng, cuman elu baru nyadar sekarang, ha ha ha!" jawab Ketut dengan aksen Balinya yang sudah menghilang. Maklum, dia tinggal di Jakarta selama 10 tahun bersama orang tuanya.
Wayan memb...alas ucapan Ketut dengan seulas senyuman.
"Sekarang lebih baik kita ke rumah supaya lebih enak ngobrolnya," ajak Wayan, Ketut menganggukan kepala tanda setuju.
Kemudian mereka bedua mengayunkan langkah menuju ke sebuah bangunan rumah sederhana yang berdiri tidak jauh dari pantai. Sesampainya di rumah tersebut, Wayan mempersilahkan sahabat karibnya itu masuk.
Keadaan rumah Wayan memang sangat memprihatinkan, kerusakan sudah tampak dimana-mana. Jika hujan turun dia pasti kerepotan karena harus membersihkan seluruh ruangan yang basah terkena air.
Wayan memb...alas ucapan Ketut dengan seulas senyuman.
"Sekarang lebih baik kita ke rumah supaya lebih enak ngobrolnya," ajak Wayan, Ketut menganggukan kepala tanda setuju.
Kemudian mereka bedua mengayunkan langkah menuju ke sebuah bangunan rumah sederhana yang berdiri tidak jauh dari pantai. Sesampainya di rumah tersebut, Wayan mempersilahkan sahabat karibnya itu masuk.
Keadaan rumah Wayan memang sangat memprihatinkan, kerusakan sudah tampak dimana-mana. Jika hujan turun dia pasti kerepotan karena harus membersihkan seluruh ruangan yang basah terkena air.
Wayan menggelar tikar yang sudah berwarna kusam di ruang tamu.
"Silahkan duduk, Dude! Seperti ini lah tempat tinggal gua yang sekarang," ungkap Wayan seraya menyuguhkan air teh lengkap dengan makanan ringannya.
"Hmmm, keluarga lu pada ke ma...na? Kok rumah ini sepi?" tanya Ketut heran.
Wayan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan temannya.
"Dude?!" tegur Ketut singkat.
"Oh, iya. Tadi lu nanya apaan?"
"Tadi gua nanya keluarga lu pada kemana," terang Ketut.
"Gu... gu.. gua tinggal sendiri di rumah kontrakan ini," ucap Wayan dengan suara terbata-bata.
"Lho emangnya kemana ibu, bapak sama adik lu?" tanya Ketut heran.
"Mereka semua tinggal di rumah yang lama," jawab Wayan singkat.
"Oh, jadi lu sudah punya istri kan?!" tanya Ketut lagi, Wayan menggelengkan kepala. Hal tersebut membuat Ketut menjadi semakin penasaran.
"Silahkan duduk, Dude! Seperti ini lah tempat tinggal gua yang sekarang," ungkap Wayan seraya menyuguhkan air teh lengkap dengan makanan ringannya.
"Hmmm, keluarga lu pada ke ma...na? Kok rumah ini sepi?" tanya Ketut heran.
Wayan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan temannya.
"Dude?!" tegur Ketut singkat.
"Oh, iya. Tadi lu nanya apaan?"
"Tadi gua nanya keluarga lu pada kemana," terang Ketut.
"Gu... gu.. gua tinggal sendiri di rumah kontrakan ini," ucap Wayan dengan suara terbata-bata.
"Lho emangnya kemana ibu, bapak sama adik lu?" tanya Ketut heran.
"Mereka semua tinggal di rumah yang lama," jawab Wayan singkat.
"Oh, jadi lu sudah punya istri kan?!" tanya Ketut lagi, Wayan menggelengkan kepala. Hal tersebut membuat Ketut menjadi semakin penasaran.
"Terus kenapa lu tinggal sendiri?"
"Gua lagi belajar Mandiri, Dude. Hmmm, gua gak bakalan maju kalo terus-terusan numpang sama orang tua," Wayan berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ketut mengangguk-anggukan kepala.
"Lu ma...u gak ikut gua ke Jakarta?" tanya pemuda berambut cepak yang saat ini tengah mengenakan kemeja batik dan celana hitam.
"Ke Jakarta? Ngapain?" Wayan balik bertanya.
"Barusan lu bilang kan mau belajar hidup mandiri, nah kalo lu tertarik, mendingan ikut kerja sama gua, lu bakal dapet upah yang lumayan lah. By the way, sekarang lu kerja apaan?"
"Kerjaan gua gak tentu ,Dude. Begitu juga upah yang gua dapet. Kadang kalo lagi rame, gua bisa dapet duit sampe 50 ribu. Tapi kalo lagi sepi kayak hari ini, 30 rebu pun udah alhamdulillah," papar Wayan panjang lebar.
"Sekarang lu kerja jadi guide yang nganterin para turis buat ngeliat atraksi lumba-lumba?"
"Ya, begitulah!" jawab Wayan singkat.
"Hmmm, kalo elu minat ikut sama gua, besok kita berangkat," ujar Ketut setelah sebelumnya meneguk air teh manis yang disuguhkan Wayan.
"Gua lagi belajar Mandiri, Dude. Hmmm, gua gak bakalan maju kalo terus-terusan numpang sama orang tua," Wayan berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ketut mengangguk-anggukan kepala.
"Lu ma...u gak ikut gua ke Jakarta?" tanya pemuda berambut cepak yang saat ini tengah mengenakan kemeja batik dan celana hitam.
"Ke Jakarta? Ngapain?" Wayan balik bertanya.
"Barusan lu bilang kan mau belajar hidup mandiri, nah kalo lu tertarik, mendingan ikut kerja sama gua, lu bakal dapet upah yang lumayan lah. By the way, sekarang lu kerja apaan?"
"Kerjaan gua gak tentu ,Dude. Begitu juga upah yang gua dapet. Kadang kalo lagi rame, gua bisa dapet duit sampe 50 ribu. Tapi kalo lagi sepi kayak hari ini, 30 rebu pun udah alhamdulillah," papar Wayan panjang lebar.
"Sekarang lu kerja jadi guide yang nganterin para turis buat ngeliat atraksi lumba-lumba?"
"Ya, begitulah!" jawab Wayan singkat.
"Hmmm, kalo elu minat ikut sama gua, besok kita berangkat," ujar Ketut setelah sebelumnya meneguk air teh manis yang disuguhkan Wayan.
"Besok? Kok cepet amat?"
"Iya, gua gak bisa berlama-lama di sini soalnya lagi ngurusin perlengkapan pesta pernikahan yang akan digelar minggu depan."
"Oh, begitu yah. Ngomong-ngomong tau dari mana kalo gua tinggal di sini?" tanya Wayan her...an.
"Tadi pagi gua jalan-jalan di pantai, tanpa disengaja ketemu sama adik lu, Aisyah. Terus kami berdua terlibat dalam percakapan yang cukup lama, nah dari adik lu itu lah gua tau kalo elu tinggal di sini. Tapi pas gua tanya kenapa, dia tidak menjawab. Malahan langsung pamit, katanya dia bisa kesiangan sekolah kalo terus mengobrol sama gua," papar Ketut dengan memasang raut wajah yang serius. Wayan tidak merespon sedikit pun penuturan temann itu.
"Dude, are you okay?"
"I'm so sorry."
"Hmmm, what's on your mind?" tanya Ketut penasaran.
"Gua bingung nih, kalo misalkan berangkat besok, duit gua gak bakalan cukup."
"Ada-ada aja lu, ha ha ha. Soal duit buat transfort, slow down Man! Gua yang bayarin," terang Ketut seraya berkelakar.
"Really?" tanya Wayan setengah tidak percaya, matanya berbinar-binar.
"Yup, I'm serious!" jawab Ketut mantap, Wayan langsung meraih tangan temannya itu dan perlahan mengecupnya sebagai ekspresi kebahagiaan yang tengah ia rasakan.
"Iya, gua gak bisa berlama-lama di sini soalnya lagi ngurusin perlengkapan pesta pernikahan yang akan digelar minggu depan."
"Oh, begitu yah. Ngomong-ngomong tau dari mana kalo gua tinggal di sini?" tanya Wayan her...an.
"Tadi pagi gua jalan-jalan di pantai, tanpa disengaja ketemu sama adik lu, Aisyah. Terus kami berdua terlibat dalam percakapan yang cukup lama, nah dari adik lu itu lah gua tau kalo elu tinggal di sini. Tapi pas gua tanya kenapa, dia tidak menjawab. Malahan langsung pamit, katanya dia bisa kesiangan sekolah kalo terus mengobrol sama gua," papar Ketut dengan memasang raut wajah yang serius. Wayan tidak merespon sedikit pun penuturan temann itu.
"Dude, are you okay?"
"I'm so sorry."
"Hmmm, what's on your mind?" tanya Ketut penasaran.
"Gua bingung nih, kalo misalkan berangkat besok, duit gua gak bakalan cukup."
"Ada-ada aja lu, ha ha ha. Soal duit buat transfort, slow down Man! Gua yang bayarin," terang Ketut seraya berkelakar.
"Really?" tanya Wayan setengah tidak percaya, matanya berbinar-binar.
"Yup, I'm serious!" jawab Ketut mantap, Wayan langsung meraih tangan temannya itu dan perlahan mengecupnya sebagai ekspresi kebahagiaan yang tengah ia rasakan.
Pagi ini merupakan pagi yang sangat berarti bagi Wayan dan Ketut. Tuhan telah berkenan mempertemukan kembali sepasang sahabat yang berpisah selama kurang lebih 10 tahun. Ketut adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga mampu. Saat dia ...menginjak usia sekolah SMP, ayahnya dipindahkan ke Jakarta, dengan berat hati Ketut meninggalkan Wayan beserta kampung halaman. Waktu bergulir begitu cepat, kini Ketut bekerja sebagai pemilik sebuah gedung serbaguna, dia menjadi seorang pemuda sukses, hal itu berbanding terbalik dengan keadaan Wayan yang memprihatinkan. Namun ada satu hal yang membuat mereka bangga satu sama lain, baik Wayan maupun Ketut masih sama seperti dulu.
***
Rumah Bapak Gede, Kabupaten Buleleng, Bali.
Di sebuah ruang kamar berukuran kecil dan sederhana terbaring seorang perempuan paruh baya yang tengah sakit, sesekali perempuan tersebut terdengar batuk. Ruang kamar tersebut menghadap ke arah laut, dengan demikian dari balik jendela kita bisa melihat ombak yang tengah berarak mengikuti tiupan angin. Keadaan Ibu Ida Ayu memang sudah sangat memprihatinkan, wajahnya yang dulu berseri-seri berubah murung, selain itu penyakit TBC yang ia derita juga melahap habis tubuh gemuknya, kering bagai tulang berbalut kulit.
"Uhu.. uhu..uhu ..uhu!" Ibu Ida terus batuk, tangan kanannya menutup mulut sedangkan tangan kiri asyik mengelus dada, menahan rasa sakit.
Dengan langkah sedikit tergesa, Aisyah membawa secangkir air hangat di tangannya.
"Minum dulu, Biang. Supaya Biang tidak batuk lagi," ucap gadis cantik yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah ini dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih, Sayang. Maafkan Biang yang sering merepotkanmu," ujar Ibu Ida haru.
"Biang, dengarkan saya! Biang tidak boleh berkata seperti itu, sebagai seorang anak sudah sepatutnya saya merawat Biang yang saat ini kebetulan sedang sakit. Kalau bukan saya sama Bapak, siapa lagi?" sergah Aisyah lemah lembut. Ibu Ida tersenyum bangga terhadap putrinya yang santun itu.
"Bapakmu kemana?"
"Uhu.. uhu..uhu ..uhu!" Ibu Ida terus batuk, tangan kanannya menutup mulut sedangkan tangan kiri asyik mengelus dada, menahan rasa sakit.
Dengan langkah sedikit tergesa, Aisyah membawa secangkir air hangat di tangannya.
"Minum dulu, Biang. Supaya Biang tidak batuk lagi," ucap gadis cantik yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah ini dengan penuh kasih sayang.
"Terima kasih, Sayang. Maafkan Biang yang sering merepotkanmu," ujar Ibu Ida haru.
"Biang, dengarkan saya! Biang tidak boleh berkata seperti itu, sebagai seorang anak sudah sepatutnya saya merawat Biang yang saat ini kebetulan sedang sakit. Kalau bukan saya sama Bapak, siapa lagi?" sergah Aisyah lemah lembut. Ibu Ida tersenyum bangga terhadap putrinya yang santun itu.
"Bapakmu kemana?"
"Tadi pagi sekitar jam lima subuh selepas salat Bapak pergi ke pasar ikan, untuk menjual hasil tangkapannya kemarin," terang Aisyah seraya memijat tangan sang bunda.
"Kenapa Bapak tidak membangunkan Biang yah?" ujar Ibu Ida pelan.
"Mungkin... Bapak tidak mau mengganggu Biang yang sedang tidur nyenyak. Sejak semalam Biang kan terus mengigau memanggil nama...," Aisyah tidak melanjutkan ucapannya.
"Be... Beli Wayan?!" tanya Ibu Ida lirih, Aisyah menganggukan kepala.
"Maafkan saya, Biang. Saya tidak bermaksud membuat Biang sedih," ungkap Aisyah seraya menundukan kepala, dia merasa bersalah karena melihat ibunya menitikan air mata.
"Kenapa Bapak tidak membangunkan Biang yah?" ujar Ibu Ida pelan.
"Mungkin... Bapak tidak mau mengganggu Biang yang sedang tidur nyenyak. Sejak semalam Biang kan terus mengigau memanggil nama...," Aisyah tidak melanjutkan ucapannya.
"Be... Beli Wayan?!" tanya Ibu Ida lirih, Aisyah menganggukan kepala.
"Maafkan saya, Biang. Saya tidak bermaksud membuat Biang sedih," ungkap Aisyah seraya menundukan kepala, dia merasa bersalah karena melihat ibunya menitikan air mata.
"Kamu tidak perlu meminta maaf seperti itu, Aisyah. Biang menangis bukan gara-gara penuturan kamu. Ini adalah tangisan seorang ibu yang merindukan putranya. Kenapa sampai sekarang Beli Wayanmu tak kunjung pulang juga? Padahal Biang ingin s...ekali bertemu dengannya. Sekarang Biang menderita penyakit TBC, esok, lusa atau mungkin hari ini malaikat maut sudah siap mengambil Biang dari dunia," ungkap Ibu Ida lirih.
"Biang tenang saja dan jangan pesimis seperti itu, setiap makhluk yang hidup di dunia ini pasti akan merasakan apa yang dinamakan dengan kematian. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan jika Aisyah yang terlihat sehat seperti ini lebih dahulu menghadap Tuhan. Kematian tidak pernah pandang bulu. Tua, muda, kaya, miskin,sehat dan sakit bukan lah penghalang baginya untuk memisahkan jiwa dari raga kita," Aisyah berusaha membesarkan hati sang bunda. Tak terasa air mata mengalir deras membasahi pipi.
"Lalu, kenapa kamu menangis, Sayang?" tanya Ibu Ida yang sedari tadi sudah menitikan air mata.
"Ini adalah tangisan kebahagiaan saya karena memiliki sosok seperti Biang sebagai ibu, Bapak sebagai ayah, dan Beli Wayan sebagai kakak. Meskipun kehidupan kita serba kekurangan, Aisyah tetap bersyukur kepada Tuhan. Bukan harta yang bisa menjamin seseorang hidup di dalam kesenangan, tetapi kasih sayang dan merasa cukup itu lebih berarti. Saya memperolehnya dari keluarga ini," ungkap Aisyah haru. Kemudian mereka berdua saling mendekap satu sama lain.
"Biang tenang saja dan jangan pesimis seperti itu, setiap makhluk yang hidup di dunia ini pasti akan merasakan apa yang dinamakan dengan kematian. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan jika Aisyah yang terlihat sehat seperti ini lebih dahulu menghadap Tuhan. Kematian tidak pernah pandang bulu. Tua, muda, kaya, miskin,sehat dan sakit bukan lah penghalang baginya untuk memisahkan jiwa dari raga kita," Aisyah berusaha membesarkan hati sang bunda. Tak terasa air mata mengalir deras membasahi pipi.
"Lalu, kenapa kamu menangis, Sayang?" tanya Ibu Ida yang sedari tadi sudah menitikan air mata.
"Ini adalah tangisan kebahagiaan saya karena memiliki sosok seperti Biang sebagai ibu, Bapak sebagai ayah, dan Beli Wayan sebagai kakak. Meskipun kehidupan kita serba kekurangan, Aisyah tetap bersyukur kepada Tuhan. Bukan harta yang bisa menjamin seseorang hidup di dalam kesenangan, tetapi kasih sayang dan merasa cukup itu lebih berarti. Saya memperolehnya dari keluarga ini," ungkap Aisyah haru. Kemudian mereka berdua saling mendekap satu sama lain.
Mata Aisyah melirik jam dinding tanpa kaca yang terpasang di dekat kalender masehi. Jarum jam tersebut menunjukan pukul 06:50 WITA, waktunya berangkat sekolah.
"Saya pamit sekarang, Biang. Sudah terlalu siang, nanti Pak Made marah lagi seperti kemarin," ucap Aisyah setelah melepas dekapannya.
"Hati-hati, Nak!"
"Biang tidak perlu khawatir, insya Allah saya akan baik-baik saja, assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam!" balas Ibu Ida dengan suara khas orang yang tengah sakit. Matanya nanar menatap setiap langkah yang diambil Aisyah.
Gadis anggun ini baru saja menginjakan kakinya di halaman rumah, namun dia berbalik arah setelah mendengar suara benda jatuh yang berasal dari dalam kamar ibunya.
"Biang?!" ucap Aisyah setengah berteriak saat menyaksikan mulut beserta tangan Ibu Idah berlumuran darah. Di atas lantai kamar terdapat banyak sekali pecahan cangkir berbahan dasar keramik yang berserakan.
"Uhu... uhu.... uhu..... uhu.... ueek...!!" sosok ibu berusia 48 tahun ini sepertinya sudah tidak mampu lagi melawan penyakit TBC yang terkenal sangat menular itu. Bahkan ia sampai memuntahkan darah segar dari dalam rongga mulut.
"Saya pamit sekarang, Biang. Sudah terlalu siang, nanti Pak Made marah lagi seperti kemarin," ucap Aisyah setelah melepas dekapannya.
"Hati-hati, Nak!"
"Biang tidak perlu khawatir, insya Allah saya akan baik-baik saja, assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam!" balas Ibu Ida dengan suara khas orang yang tengah sakit. Matanya nanar menatap setiap langkah yang diambil Aisyah.
Gadis anggun ini baru saja menginjakan kakinya di halaman rumah, namun dia berbalik arah setelah mendengar suara benda jatuh yang berasal dari dalam kamar ibunya.
"Biang?!" ucap Aisyah setengah berteriak saat menyaksikan mulut beserta tangan Ibu Idah berlumuran darah. Di atas lantai kamar terdapat banyak sekali pecahan cangkir berbahan dasar keramik yang berserakan.
"Uhu... uhu.... uhu..... uhu.... ueek...!!" sosok ibu berusia 48 tahun ini sepertinya sudah tidak mampu lagi melawan penyakit TBC yang terkenal sangat menular itu. Bahkan ia sampai memuntahkan darah segar dari dalam rongga mulut.
Hati Aisyah terasa perih bagaikan diiris sembilu saat dia menyaksikan sang bunda tercinta mengerang kesakitan, berjuang sendiri melawan penyakit ganasnya. Anak bungsu dari dua bersaudara ini tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akhirnya dia menemukan ide, yah, mencari bantuan dari warga sekitar.
"Tolong... tolong... tolong..., penyakit Biang saya kambuh!" teriakan tersebut langsung mengundang para tetangga yang saat itu hendak memulai aktifitas harian mereka. Seketika itu juga rumah sederhana keluarga Bapak Gede dijejali oleh orang-orang berjiwa sosial tinggi.
"Tolong... tolong... tolong..., penyakit Biang saya kambuh!" teriakan tersebut langsung mengundang para tetangga yang saat itu hendak memulai aktifitas harian mereka. Seketika itu juga rumah sederhana keluarga Bapak Gede dijejali oleh orang-orang berjiwa sosial tinggi.
"Kita harus segera bawa Ibu Ida ke puskesmas, karena kondisi kesehatannya semakin memburuk. Ayo bantu saya mengangkat tubuhnya!" ajak Pak Gusti, ketua RT, yang kebetulan saat Aisyah berteriak minta tolong, beliau sedang melintas di depan rumah Pak Gede.
"Tapi ini masih pagi, Pak. Mungkin puskesmas belum buka, bagaimana kalau kita bawa ke rumah dokter Danu?" saran salah seorang warga, Aisyah terus menangis, sementara itu Ibu Ida jatuh pingsan.
"Kamu tenang saja, adi. Biangmu akan baik-baik saja, sekarang lebih baik kamu berdo'a untuk kesembuhannya," seorang ibu berusia sekitar 30 tahunan mencoba menenangkan hati Aisyah.
"Terima kasih, Mbok!"
"Sama-sama," jawab Ibu Ayu seraya mengusap pundak Aisyah. Kemudian mereka berdua mengikuti rombongan yang akan membawa Ibu Ida ke salah satu rumah dokter, dokter Danu namanya.
"Tapi ini masih pagi, Pak. Mungkin puskesmas belum buka, bagaimana kalau kita bawa ke rumah dokter Danu?" saran salah seorang warga, Aisyah terus menangis, sementara itu Ibu Ida jatuh pingsan.
"Kamu tenang saja, adi. Biangmu akan baik-baik saja, sekarang lebih baik kamu berdo'a untuk kesembuhannya," seorang ibu berusia sekitar 30 tahunan mencoba menenangkan hati Aisyah.
"Terima kasih, Mbok!"
"Sama-sama," jawab Ibu Ayu seraya mengusap pundak Aisyah. Kemudian mereka berdua mengikuti rombongan yang akan membawa Ibu Ida ke salah satu rumah dokter, dokter Danu namanya.
***
Kenapa tidak dilanjutkan? Bagus.....
BalasHapusbaca dikit aja udah paham selanjutnya gimana, bosen, gada yg menarik
BalasHapussaya tunggu kelanjutannya.
BalasHapusIni keren
BalasHapus